Imam Al-Ghazali Berpesan “Biarkan Anak Bermain dan Berkembang Sesuai Fitrahnya”

Aqiqah Bandung – Bermain adalah bagian alami dari kehidupan anak-anak, karena dunia mereka memang dipenuhi dengan aktivitas bermain. Kadang, mereka bahkan bisa lupa waktu karena asyik bermain. Islam mengakui banyaknya manfaat yang bisa didapatkan dari bermain, termasuk kebahagiaan yang dirasakan anak-anak.

Seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, beliau mengatakan, “Setelah pulang dari sekolah, anak hendaknya diizinkan bermain dengan mainan yang ia sukai untuk menghilangkan kelelahan akibat belajar. Melarang anak bermain dan hanya memaksanya belajar akan membuatnya jenuh, meredupkan kecerdasannya, serta mengurangi kebahagiaan masa kecilnya.”

Bermain memang dunia anak. Jika anak tidak diberi kesempatan bermain, mereka bisa meluapkan rasa tertekan itu dengan berbagai cara. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk berkembang, mengasah akal, serta meningkatkan pengetahuan dan pendidikan mereka.

Dalam sebuah riwayat, Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari aku sedang melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah tugasku selesai, aku berpikir bahwa beliau akan beristirahat siang. Aku pun keluar dan bergabung dengan anak-anak yang sedang bermain. Tak lama kemudian, Rasulullah datang dan mengucapkan salam kepada anak-anak yang sedang bermain, lalu beliau memanggilku untuk suatu keperluan. Aku segera pergi melaksanakannya, sementara beliau duduk di bawah pohon hingga aku kembali.” (HR. Ahmad)

Sebagai orang tua dan pendidik, penting untuk memberikan anak-anak mainan yang sesuai dengan usia mereka, aman, serta mendidik, selama tidak bertentangan dengan syariat.

Berkembang Sesuai Fitrahnya

Setiap manusia dilahirkan dengan fitrah, maka kita tidak perlu terlalu khawatir tentang perkembangan anak-anak. Mereka lahir sesuai dengan zamannya, dan Allah telah menciptakan setiap anak dengan fitrah yang sesuai. Allah berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (QS Ar Rum: 30)

Setiap manusia dilahirkan dengan empat fitrah utama: fitrah zaman dan tempat, fitrah belajar, fitrah kemanusiaan, dan fitrah keimanan. Guru dan orang tua memegang peran penting dalam merawat dan mengembangkan fitrah-fitrah ini pada anak-anak. Esensi pendidikan adalah membantu anak menumbuhkan potensi yang telah Allah berikan dalam dirinya.

Dari sisi fitrah kemanusiaan, anak memiliki keinginan untuk dihargai dan memiliki perasaan yang sensitif. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam berbicara kepada anak-anak, bahkan sejak mereka masih dalam kandungan. Dalam konteks fitrah zaman dan tempat, Allah menciptakan setiap anak sesuai dengan keadaan dan teknologi di zamannya. Sehingga, mendidik anak-anak di era teknologi dengan cara yang diterapkan pada era sebelumnya, seperti tahun 70-an atau 90-an, bukanlah pendekatan yang tepat.

Meskipun menghindarkan anak-anak dari televisi atau gadget sepenuhnya adalah hal yang sulit. Yang perlu dilakukan adalah mendidik mereka dalam menggunakan teknologi dengan bijak. Sesuaikan dengan usia mereka, tentu bayi tidak bisa diberi ponsel.

Belajar juga merupakan fitrah anak. Bahkan sejak 100 hari dalam kandungan, sel-sel otaknya berkembang dengan pesat. Hingga tiga bulan setelah dilahirkan, pertumbuhan sel otak semakin meningkat. Setelah itu, beberapa sel otak mengalami proses penyusutan sesuai kemampuan otak. Otak anak ini berkembang melalui proses belajar. Ada banyak cara untuk mengembangkan potensi anak dalam belajar, namun bermain adalah bentuk pembelajaran yang paling alami bagi mereka.

Sumber gambar: FreePik

Penulis: Elis Parwati